Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian Dalam Negeri RI pada tahun 2021, rasio tenaga kesehatan di Indonesia hanya 2,07 per 1.000 penduduk. Angka tersebut masih berada di bawah standar minimal yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) yaitu 2,3 per 1.000 penduduk. Selain itu, Indonesia juga dihadapkan pada masalah tidak meratanya persebaran tenaga kesehatan. Data terakhir yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2022, sebagian besar dokter dan tenaga medis lainnya terakumulasi di kota besar atau daerah urban di pulau Jawa. Situasi ini tentu saja memicu kesenjangan dari segi kualitas pelayanan kesehatan antara area urban dan rural.

Isu ini mengemuka pada pertemuan ilmiah AAHCI Southeast Asia Regional Meeting 2023 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada tanggal 11-12 Januari 2023 di Hotel Aryaduta, Badung, Bali. Mengusung tema “The Specialist Gap: Responding to Urban and Rural Area Needs”, secara khusus topik kesenjangan persebaran dan kuantitas dokter spesialis tersebut dibahas dalam salah satu sesi gelar wicara yang menghadirkan sejumlah pakar pendidikan kedokteran dunia dan difasilitasi oleh Dr. Achmad Chusnu Romdhoni., dr., Sp.THT-KL(K)., FICS dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH membuka sesi gelar wicara dengan membawakan topik “Academic Health System to Improve Equitable Distribution of Specialist in Rural and Urban Area”. Dalam presentasinya, Yodi menegaskan bahwa pemerataan dokter dan dokter spesialis di Indonesia bukan pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan sinergitas seluruh pihak untuk duduk bersama membahas kontribusi terbaik yang bisa diberikan. Salah satu upaya yang kini tengah berjalan ialah pelaksanaan konsep Sistem Kesehatan Akademik atau Academic Health System (AHS).

AHS merupakan konsep yang mengakomodasi integrasi pendidikan dan pelayanan kesehatan melalui kerja sama lintas sektor, yaitu universitas, rumah sakit pendidikan, dan pemerintah daerah. Konsep ini terlaksana sebagai bentuk implementasi Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) dan Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia.

Yodi menjelaskan bahwa AHS dapat memfasilitasi interkonektivitas stakeholders sektor kesehatan untuk menyelenggarakan kerja sama di bidang pendidikan kedokteran, riset translasional terkait isu kesehatan prioritas, pelayanan kesehatan terintegrasi, dan pengembangan inovasi terkait penguatan kesehatan komunitas. Pemenuhan jumlah dan persebaran merata dokter spesialis menjadi tujuan prioritas AHS saat ini. Hingga kini, terdapat enam kelompok regional AHS, di mana Universitas Indonesia di bawah naungan FKUI terlibat sebagai koordinator regional 2. “Nantinya, diharapkan setiap provinsi memiliki kepengurusan AHS masing-masing sehingga bentuk kerja sama yang direncanakan akan jauh lebih mudah dilaksanakan,” jelas Yodi.

Selain itu, Yodi juga menegaskan secara khusus peran serta universitas dalam konsep AHS. Keterlibatan kampus sebagai pusat sumber ilmu pengetahuan amat penting dalam memastikan sumber daya paling tepat dalam menunjang sistem yang sedang berjalan. Sokongan dari riset serta inovasi universitas juga dibutuhkan demi memastikan kedua pihak yang telibat lainnya, yaitu pemerintah daerah dan rumah sakit pendidikan, dapat memberikan kontribusi terarah sesuai persoalan yang ada. Terkait pemenuhan dokter spesialis, beberapa koordinator wilayah termasuk Universitas Indonesia secara aktif melakukan pendampingan untuk pembukaan program pendidikan dokter spesialis di sejumlah rumah sakit pendidikan yang terafiliasi dengan fakultas kedokteran daerah. Melalui kerja sama tersebut diharapkan masalah kesenjangan dan jumlah dokter spesialis di area rural dan urban dapat diperbaiki.

Pembicara kedua, Prof. Carlo Irwin Panelo dari College of Medicine, University of the Philippines ikut berbagi pandangan dan pengalaman mengenai sistem transformasi kesehatan di Filipina. Melalui presentasinya yang berjudul “Addressing The Specialist Gap Under UHC”, Prof. Carlo menjelaskan upaya sistem Universal Health Care (UHC) yang diusung pemerintah Filipina dalam menyelesaikan persoalan pemerataan dokter spesialis. Beliau membuka presentasinya dengan menayangkan data jumlah dan persebaran dokter serta dokter spesialis di Filipina yang tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Tenaga kesehatan yang lebih terkonsetrasi di area urban diperparah dengan kebutuhan yang meningkat di tengah pandemi membuat kesenjangan semakin terasa.

Pemenuhan fasilitas dan ketersediaan sarana serta prasarana di kawasan rural yang kurang memadai juga menjadi alasan klise sulitnya pemerataan dokter spesialis di Filipina. Faktor kesejahteraan secara finansial dan sosial yang belum maksimal turut melengkapi sengkarut yang terjadi. Sejumlah wacana solusi, seperti peningkatan produksi dokter spesialis, penyediaan beasiswa, peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan, dan program penempatan dokter spesialis di area rural secara berkala sudah dicanangkan. Namun, tetap saja tujuan utama pemerintah yaitu pemenuhuan kesejahteraan di bidang kesehatan bagi seluruh warga Filipina, khususnya di daerah terpencil belum juga tercapai.

Untuk itu, pada tahun 2019, Presiden Filipina mengesahkan aturan UHC yang bertujuan memastikan pemenuhan kebutuhan kesehatan sebagai hak mendasar rakyat Filipina. “Jika kuantitas dokter spesialis sulit dikejar, maka kita berdayakan sumber daya manusia yang sudah ada di daerah untuk memenuhi gap tersebut,” terang Prof. Carlo. Melalui UHC, setiap daerah diarahkan untuk menyusun prioritas, target, dan rencana investasi di bidang kesehatan. Pemerintah daerah diminta untuk melakukan ekspansi penggunaan dana kesehatan untuk memastikan kualitas pelayanan terbaik dapat diberikan kepada masyarakat. Selain itu, rencana program yang akan dijalankan harus sesuai dengan hasil riset mendasar mengenai isu kesehatan prioritas yang dihadapi masing-masing daerah. Seiring dengan perbaikan kualitas, pemerintah pusat juga akan terus menjalankan kebijakan untuk meningkatkan kuantitas jumlah tenaga kesehatan.

Prof. Carlo menambahkan bahwa UHC berperan untuk mengubah paradigma masyarakat yang tadinya seakan meremehkan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) tingkat primer. “Paradigma baru ini diharapkan mampu menjadi jaminan akses pelayanan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat Filipina. Tidak hanya berkualitas namun juga mudah diakses bagi siapa saja tanpa pandang bulu,” tutup Prof. Carlo.

(Humas FKUI)

link

By admin